TEMPO.CO, Jakarta - Setelah "menghilang" sejak menyandang status tersangka pada Desember 2019, Nurhadi akhirnya dicokok tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga antikorupsi tersebut menangkap mantan Sekretaris Mahkamah Agung ini di sebuah rumah di Simprug, Jakarta Selatan pada Senin, 1 Juni 2020.
Dalam penggerebekan tersebut, KPK juga mencokok Rezky Hebriyono, menantu Nurhadi dan Tin Zuraida, istri dari mantan Sekretaris MA itu.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan penyidik KPK mencari keberadaan Nurhadi hingga ke 13 lokasi. "Semua lokasi itu digeledah dan diperiksa setelah KPK mendapat informasi bahwa Nurhadi berada di sana," kata Ghufron dalam konferensi pers, Selasa, 2 Juni 2020.
KPK menetapkan Nurhadi menjadi tersangka Tindak Pidana Korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pengurusan suatu perkara sekitar tahun 2015-2016. Ia juga diduga menerima gratifikasi berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Berdasarkan laporan Majalah Tempo yang terbit pada 29 Agustus 2016, ada dua jalan bagaimana Nurhadi diduga mengurus perkara. Pertama, lewat orang-orang dekatnya. Salah satu orang dekat tersebut diduga adalah Edy Nasution, Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan penelusuran Tempo, Nurhadi pernah menghubungi Edy pada Februari 2016 agar mengirimkan berkas peninjauan kembali pailit PT Across Asia Limited yang diajukan Doddy Aryanto Supeno.
Doddy terbelit perkara itu karena menyuap Edy Nasution Rp 150 juta. Besel itu untuk menunda peringatan eksekusi (aanmaning) pembayaran ganti rugi PT Metropolitan Tirta Perdana dan memuluskan pendaftaran permohonan peninjauan kembali perkara kepailitan PT Across Asia Limited.
Saat itu, menurut Edy, Nurhadi menghubungi nomor telepon selulernya menggunakan telepon sopirnya, Royani. Tidak lama setelah itu, 3 Maret lalu, permohonan peninjauan kembali kepailitan Across Asia diterima Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dikirim ke MA. Padahal permohonan PK sudah melewati masa 180 hari sejak putusan disampaikan ke pihak berperkara pada 7 Agustus 2015.
Nurhadi, saat bersaksi untuk Doddy pada 15 Agustus 2016, membenarkan menelepon Edy untuk mempercepat pengiriman permohonan PK Across Asia. "Ini hanya aspek pelayanan," ujarnya.
Pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, ini mengatakan menggunakan nomor telepon Royani karena sejak menjadi Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung pada 2007 sudah tidak memegang telepon seluler. Ia beralasan tidak mau pusing diganggu orang yang tidak berkepentingan. Dalam persidangan, Edy juga mengakui ditelepon Nurhadi.
Belakangan, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi memvonis Edy 5,5 tahun penjara. Sedangkan, Doddy divonis 4 tahun penjara.
Menemui langsung pihak perkara...